Mata Kuliah > Ekonomi Islam
RIBA
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari
rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba
adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya
sendiri, seperti firman Allah swt: (ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi
itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari
luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.
Riba berarti menetapkan bunga/ melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari
jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna:
ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan,
baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Riba dalam pandangan agama
Riba
bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun
memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut
mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan
kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke
masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Riba dalam agama Islam
Dalam Islam,
memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram.
Ini dipertegas dalam
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 275 :...padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini
juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi
penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank
konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk MUI), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan
riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba
adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan
tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti.
berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi
deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu
bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah
diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut
adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian
pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya
memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan
dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh
kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60%
dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban.
Hukum
Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah
Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS
Al-Baqarah: 275).
Dari
Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga
pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
Jenis-Jenis Riba
Secara garis
besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba
jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
- Riba Qardh
- Suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
- Riba Jahiliyyah
- Hutang dibayar lebih dari
pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu
yang ditetapkan.
- Riba Fadhl
- Pertukaran antarbarang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
- Riba Nasi’ah
- Penangguhan penyerahan atau
penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang
ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan,
perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian.
Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan
Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis
barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka
juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim
no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang
yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar
dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba
nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa
memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam
majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah
sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak
kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan
janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan
kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208
no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).