PROFIL
WIRAUSAHA
Menurut J.B Say,
wirausaha adalah orang yang menggeser sumber-sumber ekonomi dari produktivitas
terendah menjadi produktivitas tertinggi dan berlimpah luah. Menurutnya,
wirausahalah yang menghasilkan perubahan.Perubahan itu dilakukan tidak dengan
mengerjakan sesuatu yang lebih baik tetapi dengan melakukan segala sesuatu yang
berbeda (“not by doing things better but
by doing something different”).(Judul
buku :Kewirausahaan tahun 2002)
Secara kualitatif, peran wirausaha melalui usaha kecilnya
tidak diragukan lagi, yakni: Pertama,
usaha dapat memperkokoh perekonomian nasional melalui berbagai keterkaitan
usaha, seperti fungsi pemasok, fungsi penyalur, dan pemasaran bagi hasil
produk-produk industri besar. Industri kecil berfungsi sebagai transformator
antar sektor yang mempunyai kaitan ke depan maupun ke belakang ( forward and backward-linkages)
(Druc-ker, 1979:54).Kedua, usaha
kecil dapat meningkatkan efisiensi ekonomi khususnya dalam menyerap sumber daya
yang ada. Ketiga, usaha kecil
dipandang sebagai sarana pendistribusian pendapatan nasional., alat pemerataan
berusaha dan pemerataan pendapatan (wealth
creation process), karena jumlahnya tersebar, baik di perkotaan maupun di
pedesaan.
Fungsi wirausaha adalah menciptakan
nilai barang dan jasa di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya
dengan cara-cara baru yang berbeda untuk dapat bersaing. (Marzuki Usman, 1977).
A. IDE
KEWIRAUSAHAAN DAN SUMBER POTENSIAL PELUANG
Menurut Zimmerer, ide-ide yang berasal dari wirausaha dapat
menciptakan peluang untuk memenuhi kebutuhan riil di pasar. Ide-ide itu
menciptakan nilai potensial di pasar sekaligus menjadi peluang
usaha.Kreativitas sering kali muncul dalam bentuk ide-ide untuk menghasilkan
barang dan jasa-jasa baru. Ide itu sendiri bukan peluang dan tidak akan muncul
bila wirausaha tidak mengadakan evaluasi dan pengamatan secara terus-menerus
(Zimmerer 1996:82).
Agar ide-ide yang
masih potensial menjadi peluang bisnis yang riil, maka wirausaha harus bersedia
melakukan evaluasi terhadap peluang secara terus-menerus. Adapun langkah dalam
penjaringan (skrining) ide dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Menciptakan produk baru dan berbeda.
2. Mengamati pintu peluang.
3. Analisis produk dan proses produksi secara mendalam.
4. Menaksir biaya awal.
5. Memperhitungkan risiko yang mungkin terjadi.
Ada 10 kompetensi yang harus dimiliki
wirausaha agar terjadinya pengembangan dan kesuksesan dalam usaha (Dan & Bradstreet Business Credit Service
1993:1)
1. Knowing
your business, yaitu harus
mengetahui usaha apa yang akan dilakukan. Misalnya, seorang yang akan melakukan
bisnis perhotelan maka ia harus memiliki pengetahuan tentang perhotelan. Untuk
bisnis pemasaran komputer, ia harus memiliki pengetahuanpemasaran computer.
2. Knowing
the basic business management, yaitu
mengetahui dasar-dasar pengelolaan bisnis, misalnya cara merancang usaha,
mengorganisasikan dan mengendalikan perusahaan, termasuk dapat memperhitungkan,
memprediksikan, mengadministrasikan dan membukukan kegiatan-kegiatan usaha.
3. Having
the proper attitude, yaitu
memiliki sikap yang sempurna terhadap usaha yang dilakukannya.
4. Having
adequate capital, yaitu
memiliki modal yang cukup. Modal tidak hanya berbentuk materi, tetapi juga
berbentuk rohani.
5. Managing
finances effectively, yaitu
memiliki kemampuan mengatur/mengelola keuangan secara efektif dan efisien,
mencari sumber dana dan menggunakannya secara tepat, serta mengendalikannya
secara akurat.
6. Managing
time efficiently, yaitu
kemampuan mengatur waktu seefesien mungkin.
7. Managing
people, yaitu kemampuan
merencanakan, mengatur, mengarahkan, menggerakkan (memotivasi), dan
mengendalikan orang-orang dalam menjalankan usaha.
8. Satisfying
costumer by providing high quality product, yaitu
memberi kepuasan kepada pelanggan dengan cara menyediakan barang dan jasa yang
bermutu, bermanfaat, dan memuaskan.
9. Knowing
how to compete, yaitu
mengetahui strategi/cara bersaing.
10. Copying
with regulations and paperwork, yaitu
membuat aturan/pedoman yang jelas tersurat, tidak tersirat.
Disamping
keterampilan dan kemampuan, wirausaha juga harus memiliki pengalaman yang
seimbang.Menurut A. Kuriloff, John M. Memphil, Jr dan Douglas Cloud (1993:8)
ada empat kemampuan utama yang diperlukan untuk mencapai pengalaman yang
seimbang agar kewirausahaan berhasil, diantaranya:
1. Technical
competence, yaitu memiliki
kompetensi dalam bidang rancang bangun (know-how) sesuai dengan bentuk usaha
yang akan dipilih. Misalnya, kemampuan dalam bidang teknik produksi dan desain
produksi. Ia harus benar-benar mengetahui bagaimana barang dan jasa itu
dihasilkan dan disajikan.
2. Marketing
competence, yaitu memiliki
kompetensi dalam menemukan pasar yang cocok, mengidentifikasikan pelanggan dan
menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Ia harus mengetahui bagaimana menemukan
peluang pasar yang spesifik, misalnya pelanggan dan harga khusus yang belum
digarap pesaing.
3. Financial
competence, yaitu memiliki
kompetensi dalam bidang keuangan, mengatur pembelian, penjualan, pembukuan, dan
perhitungan laba/rugi. Ia harus mengetahui bagaimana mendapatkan dana dan cara
menggunakannya.
4. Human
relation competence, yaitu
kompetensi dalam mengembangkan hubungan personal, seperti kemampuan berelasi
dan menjalin kemitraan antar perusahaan. Ia harus mengetahui hubungan
interpersonal secara sehat.
Menurut Alan C. Filley dan Robert W Pricer (1991:1) bahwa,
“… karena perusahaan kecil tergantung pada lingkungan setempat, maka perusahaan
tersebut akan berhasil bila lingkungan stabil.Jadi asumsinya lingkungan harus
stabil.Oleh karena itu, pada umumnya perusahaan kecil menggunakan kecakapan
khusus atau human skill, conceptual
skill, technical skill.Human skill adalah kemampuan untuk bekerja,
memahami, dan memotivasi.Conceptual skill
adalah mental ability untuk
menganalisis dan mendiagnosis situasi yang kompleks, dengan membuat perencanaan,
merumuskan dan meramalkan.Technical skill
adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan.
CARA
MEMASUKI DUNIA USAHA
1. Merintis
Usaha Baru (starting)
Merintis Usaha Baru (starting),
yaitu membentuk dan mendirikan usaha baru dengan menggunakan modal, ide,
organisasi, dan manajemen yang dirancang sendiri.
Ada tiga
bentuk usaha baru yang dapat dirintis:
1. Perusahaan milik sendiri (sole proprietorship), yaitu bentuk usaha yang dimiliki dan dikelola
sendiri oleh seseorang,
2. Persekutuan (partnership),
yaitu suatu kerja sama (asosiasi) dua orang atau lebih yang secara bersama-sama
menjalankan usaha bersama, dan
3. Kerja sama manajemen (franchising),
yaitu suatu kerja sama antara entrepreneur
(franchisee) dengan perusahaan besar(franchisor/parent company) dalam mengadakan
persetujuan jual-beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha. Kerja sama ini
biasanya dengan dukungan awal seperti pemilihan tempat, rencana bangunan,
pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, advertensi,
pembukuan, pencatatan dan akuntansi, konsultasi, standar, promosi, pengendalian
kualitas, riset, nasihat hukum, dan sumber-sumber permodalan.
Menurut
hasil survai yang dilakukan oleh Peggy Lambing (2000:90) hampir setengah atau
43% (persen) responden (wirausaha) menggunakan sumber ide bisnisnya dari
pengalaman yang diperoleh ketika bekerja di beberapa perusahaan atau
tempat-tempat professional dan lainnya. Mereka mengetahui cara-cara
mengoperasikan perusahaan dari pengalaman tersebut.Sebanyak 15% lagi dari
responden, dengan mencobanya, dan mereka merasa mampu menjadi lebih baik.Sebanyak
1 dari 10 responden (11%) dari wirausaha yang disurvei mengungkapkan memulai
usaha untuk memenuhi peluang pasar.Sedangkan sebanyak 31% lagi dikarenakan
hobi.
Dalam
memasuki arena bisnis atau memulai usaha baru, seorang dituntut tidak hanya
memiliki kemampuan, tetapi juga harus memiliki ide dan kemauan.Seperti telah
disinggung, bahwa ide dan kemauan tersebut harus diwujudkan dalam bentuk barang
dan jasa yang laku di pasar. Gambar A berikut merupakan bagan proses bisnis
yang diawali dengan kepribadian dan ide.
Pada Gambar A
diatas, bahwa untuk memulai usaha harus di awali dengan adanya ide.
Setelah ada ide, langkah berikutnya adalah mencari sumber dana dan fasilitas baik
barang, uang maupun orang. Sumber dana tersebut adalah berasal dari badan-badan
keuangan seperti bank dalam bentuk kredit atau orang yang bersedia menjadi
penyandang dana. Tentu saja, barang dan jasa yang akan dijadikan objek bisnis
tersebut harus memiliki pasar. Oleh karena itu, mengamati peluang pasar
merupakan langkah yang harus dilakukan sebelum produk barang dan jasa
diciptakan. Apabila peluang pasar untuk barang dan jasa sudah tersedia, maka
barang dan jasa akan mudah laku dan segera mendatangkan keuntungan.
Dalam
merintis usaha baru, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Bidang dan jenis usaha yang dimasuki.
2. Bentuk usaha dan bentuk kepemilikan yang akan dipilih.
3. Tempat usaha yang akan dipilih.
4. Organisasi usaha yang akan digunakan.
5. Jaminan usaha yang mungkin diperoleh.
6. Lingkungan usaha yang akan berpengaruh.
a. Hambatan-Hambatan
Dalam Memasuki Industri
Menurut
Peggy Lambing (2000:95) ada beberapa hambatan untuk memasuki industri baru,
yaitu:
1. Sikap dan kebiasaan pelanggan. Loyalitas pelanggan kepada
perusahaan baru masih kurang. Sebaliknya perusahaan yang sudah ada justru lebih
bertahan karena telah lama mengetahui sikap dan kebiasaan pelanggan.
2. Biaya perubahan (switching
cost), yaitu biaya-biaya yang diperlukan untuk pelatihan kembali para
karyawan, dan penggantian alat serta sistem yang lama.
3. Respons dari pesaing yang ada yang secara agresif akan
mempertahankan pangsa pasar yang ada.
b. Paten,
Merek Dagang, dan Hak Cipta
Paten, merek dagang, dan hak cipta sangat penting bagi
perusahaan terutama untuk melindungi penemuan-penemuan, identitas dan nama
perusahaan, serta keorisinilan produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Paten adalah suatu pengakuan dari
lembaga yang berwewenang atas penemuan produk yang diberi kewenangan untuk
membuat, menggunakan dan menjual penemuannya selama paten tersebut masih dalam
jaminan.Merek dagang (brand nema) merupakan istilah khusus
dalam perdagangan atau perusahaan. Hak
cipta (Copyright) adalah suatu
hak istimewa guna melindungi pencipta dari keorisinilan ciptaannya.
c. Tantangan Memulai Usaha Baru
Alasan wirausahawan merintis usaha baru
sangat beragam. Koratko & Hodgetts (2007) mengungkapkan, salah satu studi
menemukan bahwa ada tujuh alasan seorang wirausaha melakukan usaha baru:
- Kebutuhan akan pengakuan diri
- Kebutuhan untuk kebebasan
- Kebutuhan pengembangan diri dan kepribadian
- Keamanan dan pengembangan asset (philanthropic)
- Persepsi kemakmuran (perception of wealth)
- Pengurangan pajak
- Mengikuti mental model.
Dalam merintis usaha baru dibutuhkan
komitmen tinggi, waktu, tenaga dan biaya.Evaluasi terhadap internal dan
eksternal sangat menentukan keberhasilan usaha baru. Beberapa elemen yang
mempengaruhi kinerja usaha baru (new star-up venture) adalah:
- Karakteristik wirausahawan
- Proses pendirian
- Lingkungan
- Karakteritik jenis usaha
Sesuatu yang sangat
kritis dalam memulai usaha adalah melakukan penilaian dalam beberapa hal,
karena menyangkut risiko yang harus ditanggung.(hasil penelitian: Dr. Zahroh Naimah, SE., Ak., M.Si.Fakultas Ekonomi & Bisnis /
Departemen Akuntansi).Sesuatu yang
sangat kritis dalam memulai usaha adalah melakukan penilaian dalam beberapa
hal, karena menyangkut risiko yang harus ditanggung.
2. Membeli
Perusahaan yang Sudah Didirikan
Banyak alasan mengapa seseorang memilih
membeli perusahaan yang sudah ada ketimbang mendirikan atau merintis usaha
baru, diantaranya karena memiliki beberapa keuntungan seperti kurang berisiko,
lebih mudah, dan memiliki peluang untuk membeli dengan harga yang bisa
ditawar.Namun demikian, membeli perusahaan yang sudah ada juga mengandung
kerugian dan permasalahan eksternal dan internal.
Masalah eksternal, yaitu lingkungan,
misalnya banyaknya pesaing dan ukuran peluang pasar. Sedangkan masalah
internal, yaitu masalah-masalah yang ada dalam perusahaan, misalnya masalah image atau reputasi perusahaan, masalah
karyawan, masalah lokasi, dan masalah masa depan perusahaan lainnya. Contoh
masalah karyawan, masalah konflik antara manajemen dan karyawan yang sukar
diselesaikan oleh pemilik yang baru.
3. Kerja Sama
Manajemen (Franschising)
Franschising merupakan cara memasuki dunia usaha yang sangat
popular diseluruh dunia. Produk-produk franchising
telah menjadi produk global.Dealer-dealer mobil, motor, bahan bakar, dan alat
rumah tangga lainnya berkembang diseluruh dunia.Format bisnis franchising telah memberikan fasilitas
jasa yang luas bagi para dealer (franchisee)
seperti pemasaran, periklanan, pelatihan, standar produksi, dan pengerjaan
manual, serta bimbingan pengawasan kualitas.
Franschising merupakan kerja sama manajemen yang biasanya berkembang
dalam perusahaan eceran. Seperti telah dikemukakan bahwa franchisee adalah suatu persetujuan lisensi menurut hokum antara
suatu perusahaan (pabrik) penyelenggara dengan penyalur atau perusahaan lain
untuk melaksanakan usaha. Perusahaan yang diberi lisensi disebut franchisor dan penyalur disebut franchisee.Inti dari franchising adalah memberi hak monopoli
untuk menyelenggarakan usaha dari perusahaan induk. Jadi, franchising adalah kerja sama manajemen untuk menjalankan
perusahaan cabang/penyalur. Franchisor
(perusahaan induk) adalah perusahaan yang diberi lisensi.Franchisee adalah perusahaan pemberi lisensi (penyalur atau dealer).
Dalam kerja samafranchising,
perusahaan induk memberikan bantuan manajemen secara berkesinambungan.
Keseluruhan citra (goodwill), pembuatan, dan teknik pemasaran diberikan kepada
perusahaan franchisee.Tidak sedikit bentuk franchising yang dilakukan
antarnegara, misalnya McDonald’s, KFC, Pizza hut, Coca-cola, Hoka-hoka bento,
dan lain sebagainya. Bidang otomotif, misalnya dealer mobil dan motor, rental
mobil, suku cadang, dan pompa bensin.Dibidang lain, bentuk kerja sama ini
adalah di bidang elektronik, obat-obatan, dan motel. Kerja sama antara
franchisor dan franchisee akan disajikan di table 1 dibawah ini.
Menurut Zimmerer (1996) keuntungan dari
kerja samafranchising adalah:
1. Diberikannya pelatihan, pengarahan, dan pengawasan yang
berlanjut dari franchisor.
2. Diberikannya bantuan finansial. Biasanya biaya awal
pembukaan sangat tinggi, sedangkan modal dari perusahaan franchisee sangat terbatas.
3. Keuntungan dari penggunaan nama, merek, produk yang telah
dikenal.
Sedangkan menurut Peggy Lambing (2000:
116-117), keuntungan franchising
meliputi:
1. Bantuan awal yang memberi kemudahan, yaitu berupa jasa
nasihat seleksi lokasi, analisis fasilitas layout,
bantuan keuangan, pelatihan manajemen, seleksi karyawan, dan bantuan pelatihan.
2. Basis untuk mwempertimbangkan prospek keberhasilan, yaitu
menyajikan prediksi dan pengujian tentang kemungkinan untuk menghasilkan
keuntungan.
3. Mendapat pengakuan yang segera, yaitu cepat dikenal karena
sudah memiliki reputasi dan berpengalaman, misalnya, sebulan, seminggu, bahkan
beberapa hari saja sudah dikenal.
4. Daya beli karena merupakan bagian dari organisasi yang
besar, maka pembayaran untuk pembelian bahan baku, peralatan, jasa asuransi
akan relatif murah.
5. Cakupan periklanan dan pengalaman. Periklanan secara
nasional dengan pengalaman yang jauh lebih baik sehingga biaya periklanan
menjadi sangat murah.
6. Perbaikan operasional. Sebagai bagian dari organisasi yang
besar, usaha franchising memiliki
metode yang lebih efisien dalam perbaikan proses produksi.
Disamping
beberapa keuntungan seperti di atas, tentu saja kerja samafranchising tidak selalu menjamin keberhasilan, karena
sangattergantung pada jenis usaha dan kecakapan para wirausaha. Kerugian yang
mungkin terjadi menurut Zimmerer adalah :
1. Program latihan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
2. Membatasi kreativitas penyelenggaraan usaha franchisee.
3. Franchisee jarang memiliki hak untuk menjual perusahaannya kepada
pihak lain tanpa menawarkan terlebih dahulu kepada pihak franchisor dengan harga yang sama.
Baik merintis usaha baru, membeli maupun franchising, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan seperti tampak pada table 2 dibawah ini.
Table 2. Kelebihan dan Kekurangan
Merintis, Menbeli dan Kerja sama Manajemen
BENTUK
|
KELEBIHAN
|
KELEMAHAN
|
Merintis Usaha
(Starting)
|
● Gagasan Murni
● Bebas beroperasi
● Fleksibel dan mudah pengaturan
|
● Pengakuan nama kurang
● Fasilitas inefisien
● Penuh ketidakpastian
● Persaingan kurang diketahui
|
Membeli Perusahaan (Buying)
|
● Kemungkinan sukses
● Lokasi sudah cocok
● Karyawan dan pemasok
biasanya sudah mantap
● Sudah siap operasi
|
● Perusahan yang dijual biasanya
lemah
● Peralatan tak efisien
● Bisnis yang harga mahal
● Sulit inovasi
|
Kerja sama manajemen (Franchising)
|
● Mendapatkan pengalaman dalam logo, nama, metode,
teknik produksi,training, teknik, bantuan modal.
●
Penggunaan nama, merek.
|
● Tidak mandiri
● Terkooptasi
● Lebih menguntungkan
franchisor.
● Menjadi interdependen,
terdominasi, vulnerable.
|
B. PROFIL
USAHA KECIL DAN MODEL PENGEMBANGANNYA
Sampai saat ini batasan usaha kecil masih berbeda-beda
tergantung pada fokus permasalahannya masing-masing. Seperti dikemukakan oleh
Dan Steinhoff dan John F. Burgess (1993:14) bahwa “Small business has been defined in different ways by different
organization and agencies”. Usaha kecil telah didefinisikan dengan cara
yang berbeda tergantung pada kepentingan organisasi.
Dalam “Small Business
Act” (1934) yang dikutip oleh Dan Steinhoff dan John F. Burgess (1993:14),
misalnya dikemukakan “A Small Business is
one which independently owned and operated and is not dominant in its field”.
Dilihat dari perangkat manajemennya, Lambing (2000:43)
mengemukakan bahwa control atau
pengawasan pada usaha kecil biasanya informal. Apabila hanya ada beberapa
karyawan, maka deskripsi pekerjaan dan segala aturan secara tidak tertulis
sebab wirausaha mudah menguasai segala aspek usahanya. M. Kusman Sulaeman (1988-1989:43)
mengemukakan beberapa ciri managerial
work dari usaha kecil dan menengah yang dikutip dari beberapa hasil studi
yang dilakukan Porter (1963); Mintzberg (1973); Clifford (1976) dan Scott (1973).
Ciri-ciri tersebut adalah :
“No training, job is directly
important, challenging, statisfying, less formal work, much operating, mixed
works, direct cotact, informal communication, and much more telephone, sales
less than $ 200 m., earning share is low, less diversified production, less
conservative financing method, and market position is weak, more operational,
routine work, authoritarian, short term thinking, and operating orientation”.
Di Indonesia
sendiri belum ada batasan dan kriteria yang baku mengenai usaha kecil. Berbagai
instansi menggunakan batasan dan kriteria
menurut fokus permasalahan yang dituju. Dalam undang-undang No. 9/1995
pasal 5 tentang usaha kecil disebutkan beberapa kriteria usaha kecil sebagai
berikut :
a. Memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki
hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS)
(1988) mendefiniskan usaha kecil dengan ukuran tenaga kerja, yaitu 5 sampai 19
orang yang terdiri (termasuk) pekerja kasar yang dibayar, pekerja pemilik, dan
pekerja keluarga. Perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja kurang dari 5
orang diklasifikasikan sebagai industri rumah tangga (home industry).
Beberapa dengan klasifikasi yang
dikemukakan oleh Stanley dan Morse, bahwa industri yang menyerap tenaga kerja 1-9
orang termasuk industri kerajinan rumah tangga.Industri kecil menyerap 10-49
orang, industri sedang menyerap 50-99 orang, dan industri besar menyerap tenaga
kerja 100 orang lebih.
Komisi untuk
Perkembangan Ekonomi (Community for
Economic Development(C.E.D)), mengemukakan kriteria usaha kecil sebagai berikut:
a. Manajemen berdiri sendiri, manajer adalah pemilik.
b. Modal disediakan oleh pemilik atau sekelompok kecil.
c. Daerah operasi bersifat local.
d. Ukuran dalam keseluruhan relatif kecil.
Disamping ciri-ciri seperti diatas,
usaha kecil memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. Beberapa kekuatan usaha
kecil diantara lain :
1. Memiliki kebebesan untuk bertindak.
2. Fleksibel. Perusahaan kecil sangat luwes, ia dapat
menyesuaikan dengan kebutuhan setempat.
3. Tidak mudah goncang. Karena bahan baku kebanyakan lokal dan
sumber daya lainnya bersifat lokal, maka perusahaan kecil tidak rentan terhadap
fluktuasi bahan baku impor.
Sedangkan kelemahan perusahaan kecil
dapat dikategorikan ke dalam dua aspek:
1. Aspek kelemahan struktural, misalnya kelemahan dalam bidang
manajemen dan organisasi, kelemahan dalam pengendalian mutu, kelemahan dalam
mengadopsi dan penguasaan teknologi, kesulitan mencari permodalan, tenaga kerja
masih local, dan terbatasnya akses pasar. Kelemahan tersebut saling
terinterdependensi (saling ketergantungan) antara faktor struktural yang satu
dengan yang lainnya kemudian membentuk lingkaran ketergantungan yang tidak
berujung pangkal dan membuat usaha kecil terdominasi dan vulnerabilitas.
2. Kelemahan Kultural adaalah kelemahan dalam budaya perusahaan
yang kurang mencerminkan perusahaan sebagai “corporateculture”. Kelemahan ini
mengakibatkan kelemahan struktural. Kelemahan kultural mengakibatkan kurangnya
akses informasi dan lemahnya berbagai persyaratan lain guna memperoleh akses
permodalan, pemasaran, dan bahan baku, seperti:
-
Informasi
peluang dan cara memasarkan produk.
-
Informasi
untuk mendapatkan bahan baku yang baik, murah, dan mudah didapat.
-
Informasi
untuk memperoleh fasilitas dan bantuan pengusaha besar dalam menjalin hubungan
kemitraan untuk memperoleh bantuan permodalan dan pemasaran
-
Informasi
tentang tata cara pengembangan produk, baik desain, kualitas, maupun
kemasannya.
-
Informasi
untuk menambah sumber permodalan dengan persyaratan yang terjangkau.
C. KERANGKA
HIPOTESIS PENGEMBANGAN USAHA
Menurut
hasil studi yang dilakukan oleh John Eggers dan Kim Leahy mengidentifikasi enam
(6) tahapan pengembangan bisnis, yaitu tahapan konsepsi (conception), survival, stabilitas, orientasi pertumbuhan,
pertumbuhan yang cepat, dan kematangan.Menurut Lambing (2000:43) ada dua keterampilan
yang sangat diperlukan oleh pemilik perusahaan dalam rangka pengembangan
perusahaan, yaitu manajemen personal dan manajemen keuangan.
Banyak
konsep yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan manajemen modern tentang cara
meraih keberhasilan usaha dalam mempertahankan eksistensinya secara dinamis.
Dalam berbagai konsep strategi bersaing dikemukakan bahwa keberhasilan suatu
perusahaan sangat tergantung pada kemampuan internal. Secara internal,
perusahaan perlu memiliki kompetensi khusus (core competency) yang dicari dari integrasi fungsional (design school) (Mintzberg, 1990) atau
dari kemampuan internal (resurce-based theory) (Pandian, 1992), atau dari “core competency” (D’Aveni, 1994), atau
dari “strategic intent” (Gary Hamel,
1994:129), atau ada yang lebih popular dari tantangan eksternal “dynamic theory” (Porter, 1980).
Dalam
teori persaingan Porter dikemukakan bahwa untuk menciptakan daya saing khusus,
perusahaan harus menciptakan keunggulan melalui strategi generik (generic strategic), yaitu strategi yang
menekankan pada keunggulan biaya rendah (low
cost), diferensiasi (differentiation),
dan fokus (focus). Menurut Mahoney & Pandian (1992) dam D’Aveni (1994),
strategi Porter tersebut adalah berjangka pendek dan statis. Menurutnya,
sekarang ini keadaannya sudah sangat cepat berubah, maka yang diperlukan adalah
strategi jangka panjang dan dinamis. Menurut Richard D’Aveni (1994:253) dan
Gary Hamel (1994:232), perusahaan harus menekankan strategi yang memfokuskan
pada pengembangan kompetensi inti (builing
core competency), pengetahuan dan keunikan intangible asset untuk menciptakan keunggulan, dan hanya
wirausahalah yang mampu mencari peluang secara kreatif dalam menciptakan
keunggulan.
Dalam
menghadapi krisis ekonomi nasional seperti sekarang ini, baik teori dynamic strategy maupun teori resourse-based strategy sangat relevan
bila khusus diterapkan dalam pemberdayaan usaha kecil nasional dewasa
ini.Perhatian utama harus ditekankan pada penciptaan nilai tambah untuk meraih
keunggulan daya saing (competitive
advantages) melalui pengembangan kapabilitas khusus (kewirausahaan),
sehingga perusahaan kecil tidak lagi mengandalkan strategi kekuatan pasar (market power) melalui monopoli dan
fasilitas pemerintah. Dalam strategi ini, perusahaan kecil harus mengarah pada skill khusus secara internal yang bisa
menciptakan core product yang unggul
untuk memperbesar manufacturing share(muncul
pada berbagai product yang memiliki komponen penting yang sama). Strategi
tersebut lebih murah dan ampuh dalam memberdayakan usaha kecil, karena
perusahaan kecil bisa memanfaatkan sumber daya lokalnya (Albert Wijaya, 1993).
Menurut teori “resource-based strategy”
ini, agar perusahaan meraih keuntungan secara terus-menerus, yaitu meraih semua
pesaing di industri yang bersangkutan, maka perusahaan harus mengutamakan
kapabilitas internal yang superior, yang
tidak transparan, sukar ditiru atau dialihkan oleh pesaing dan memberi daya
saing jangka panjang (futuristik)
yang kuat melebihi tuntutan masa kini di pasar dan dalam situasi eksternal yang
bergejolak, serta recession proof (Mahoney
& Padian, 1992). Sumber daya perusahaan yang bisa dikembangkan secara
khusus menurut Pandian (1992) adalah tanah, teknologi, tenaga kerja
(kapabilitas dan pengetahuannya), modal dan kebiasaan rutin.
Secara
spesifik, ahli lain Burns (1990) menyarankan, bahwa agar perusahaan kecil
berhasil take-off, maka harus ada
usaha-usaha yang khusus diarahkan untuk survival,
consolidatin, control, planning, dan expectation.
Dalam
konteks persaingan bebas yang semakin dinamis seperti sekarang ini, menurut
D’Aveni (1987), perusahaan harus menekankan pada strategi pengembangan
kompetensi inti (building core-competency),
yaitu pengetahuan dan keunikan untuk menciptakan keunggulan seperti yang telah
diungkapkan. Keunggulan tersebut menurutnya diciptakan melalui “The New 7-S’ strategy (The New 7-S’ s)”
yaitu:
1. Superior
stakeholder satisfaction, yaitu
mengutamakan kepuasan stakeholder.
2. Strategic
sooth saying, yaitu
merancang strategi yang membuat kejutan atau yang mencengangkan.
3. Position
for speed, yaitu posisi
untuk mengutamakan kecepatan.
4. Position
for surprise, yaitu
posisi untuk membuat kejutan.
5. Shifting
the role of the game, yaitu
strategi untuk mengadakan perubahan / pergeseran peran yang dimainkan.
6. Signaling
strategic intent, yaitu
menonjolkan strategi yang menyentuh perasaan.
7. Simultaneous
and sequential strategic thrusts,
yaitu membuat rangkaian strategi kepercayaan secara simultan.
Berdasarkan pandangan para ahli di atas, jelaslah bahwa daya
hidup perusahaan baik kecil maupun besar pada umumnya sangat tergantung pada
strategi manajemen perusahaan dalam memberdayakan sumber daya internal.